URGENSI MAQASID AL-SHARIAH DALAM PEMIKIRAN IMAM AL-SHATIBY

URGENSI MAQA>S}ID AL-SHA>RIAH DALAM PEMIKIRAN IMAM AL-SHA>T}IBY
Oleh :
Bustanul Arifin

A.   Iftita>h
Shariat Isla>m tidak akan pernah basi sepanjang waktu dan tidak akan using sepanjang masa. Isla>m adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan, s}alih likulli zaman wa al-makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Isla>m yang relevan dan realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini sehingga Isla>m sebagai agama akan mampu untuk menjawab perubahan zaman seperti perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, elastisitas hukum Isla>m bukan berarti Isla>m itu agama yang tidak punya prinsip dan plin-plan.
Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan Maqa>s}id al-sha>riah (Objektivitas Sha>ri’ah).
Dalam lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti di mana penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh manusia sebagai pendukung kehidupan social dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.

B.   Pengertian Hukum Isla>m
Ada tiga istilah penting yang mesti digunakan untuk memahami arti hukum Isla>m, yaitu sha>ri’ah, fikih, dan hukum Isla>m sendiri. Hal ini penting, karena kata hukum Isla>m tidak ditemukan sama sekali dalam literatur Isla>m, yang ada hanyalah kata sha>ri’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Sedangkan kata hukum Isla>m merupakan terjemahan dari term “Isla>mic Law” dari literatur Barat.
Dalam literatur Barat, hukum Isla>m didefinisikan dengan keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.[1] Dari definisi ini arti hukum Isla>m lebih dekat dengan pengertian sha>ri’ah.[2] Dengan kata lain sha>ri’ah adalah penumbuhan (pelembagaan) kehendak Tuhan dengan mana manusia harus hidup secara pribadi dan bermasyarakat.
Sementara Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Isla>m dengan “koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Isla>m sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.[3] Pengertian hukum Isla>m dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang arti hukum Isla>m, perlu diketahui lebih dahulu arti dari kata “hukum” dalam Oxford English Dictionary “the body of rules, wether proceeding from formal enactment or from custom, which a particular state or community recognizes as binding on its members or subjects”.[4]
Bila hukum dihubungkan dengan Isla>m, maka hukum Isla>m peneliti artikan dengan “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Isla>m”. Dengan kata lain, cakupan hukum Isla>m meliputi semua aspek hukum publik dan perorangan, kesehatan, bahkan kesopanan dan akhlak.

C.   Maqa>shi>d Al-Syari>’ah
Istilah maqa>shi>d al-syari>’ah pertama kali dikembangkan pada abad 8 H. oleh Abu Ishaq Al-Sha>t}iby,[5] yang menjadikan kemaslahatan sebagai tujuan hukum Isla>m.[6] Istilah ini identik maqs}ud al-shar’i-nya Al-Ghazaly yang menjelaskan bahwa maslahah adalah tujuan syara’ untuk makhluk yang terdiri dari lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setup yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.[7]
 Sebagaimana Al-Ghazaly, Sha>t}iby juga menyataan bahwa kemaslahatan manusia sebagai tujuan hukum Isla>m akan dapat terwujud jika kelima unsur pokok kehidupan manusia dapat terealisasi dan dipelihara yakni agama atau keyakinan, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka inilah Sha>t}iby kemudian membagi urutan dan skala prioritas maslahah menjadi tiga urutan peringkat, yaitu D}aru>riyat, h}a>jiyat, dan tah}siniyat.[8]
Lebih lanjut Al-Sha>t}iby  menyatakan bahwa Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul masha>lih wa dar’u al-mafa>sid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Al-Sha>t}iby  kemudian membagi maslahah ini kepada tiga bagian penting yaitu d}aruriyyat (primer), h}ajiyyat (sekunder) dan tah}sinat (tertier, luxs). Pendapat ini diperkuat oleh Imam al-Qarafy, salah seorang penganut madzhab Maliki pernah menegaskan bahwa aturan yang wajib diperhatikan oleh ahli fiqih dan fatwa ialah memperhatikan perkembangan yang terjadi dari hari ke hari, sambil memperhatikan tradisi dan kebiasaan, dengan perubahan waktu dan tempat.[9]
D}aru>riyat adalah kemaslahatan primer bagi kehidupan manusia dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan itu sendiri, baik dunia maupun akhirat. Dengan kata lain jika d}aru>riyat ini tidak terwujud, niscaya kehidupan manusia akan punah. D}aru>riyat ini mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan, yakni yakni agama atau keyakinan, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan demikian, setiap manusia meski pula menghargai keberagamaan orang lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta tiap orang. Imam Al-Sha>t}iby menegaskan bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran.
Di sisi lain, ha>jiyat merupakan segala hal yang menjadi kebutuhan skunder manusia agar hidup manusia bahagian dan sejahtera dunia dan akhirat, serta terhindar dari berbagai kesengsaraan. Dengan pernyataan lain bahwa jenis kemaslahatan ini adalah yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan sosial, ekonomi dan hukum, melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan tatanan sosial, ekonomi dan hukum. Jika kebutuhan ini tidak tertunaikan, manusia akan mengalami kesulitan (mashaqqah) meski tidak sampai menyebabkan kepunahan.[10]
Tingkatan terakhir adalah tah}siniyat yakni berupa kebutuhan hidup komplementer-sekunder untuk menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan tah}siniyyat ini tidak dipenuhi, maka kemaslahatan hidup manusia kurang sempurna dan kurang nikmat meski tidak menyebabkan kesengsaraan dan kebinasaan hidup.[11]

D.   Maqashid al-Sha>ri’ah Sebagai Sumber Maslahah
Al-Sha>t}iby  mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan al-maqa>shi>d. Kata-kata itu ialah maqa>s}i>d al-shari>’ah, al-maqa>s}i>d al-shar’iyyah, dan maqa>s}i>d min shar’i al-hukm. Meskipun demikian, walau dengan kata-kata yang berbeda mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Apabila ditelaah pernyataan Al-Sha>t}iby tersebut, dapat dikatakan bahwa kandungan al-maqa>s}i>d atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.
Dimana Al-Sha>t}iby mendefinisikan maslahahsebagai berikut :
وأعنى بالمصالح ما يرجع الى قيام حياة الإنسان وتمام عيشه, ونيله ما تقتضيه أوصافه الشوانيه والعقليه على الإطلاق, حتى يكون منعما على الإطلاق
Sesuatu yang dipahami untuk memeliharanya sebagai suatu hak hamba, dalam bentuk meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan yang untuk mengetahuinya tidak didasarkan pada akal semata, jika Allah tidak memberikan penegasan terhadapnya, bahkan menolaknya, maka kaum muslimin sepakat menolaknya sebagai kemaslahatan”.[12]

Al-Ghozali mendefinisikan maslahah sebagai berikut :
أماالمصلحة فهي عبارة فى الأصل عن جلب منفعة او دفع مضرة, ولسنا نعني به ذالك, فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق, وصلاح الخلق في تحصيل مقاصدهم. لكنانعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع.
ومقصود الشرع من الخلق خمسة, وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم. فكل مايتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة وكل مايفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة. [13]

“Adapun maslahah pada dasarnya adalah ungkapan dari menarik manfaat dan menolak mudarat, tetapi bukan itu yang kami maksud; sebab menarik manfaat dan menolak mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), dan kebaikan makhluk itu akan terwujud dengan meraih tujuan-tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahahialah memelihara tujuan syara” /hukum Isla>m, dan tujuan syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang menyatakan keturunan dan kehormatan, pen.), dan harta mereka. Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setup yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.”

Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa menurut Al-Sha>t}iby  bahwa yang dimaksud dengan al-maslahah dalam pengertian sha>ri’ (Allah SWT) mengambil manfaat dan menolak kemafsadatan yang tidak hanya berdasarkan kepada akal sehat semata, tapi dalam rangka memelihara hak hamba. Sedangkan uraian Al-Ghazali di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan maslahah menurut Al-Ghazali adalah upaya memelihara tujuan hukum Isla>m, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan hukum Isla>m yang lima tersebut disebut maslahat. Kebalikannya, setiap hal yang merusak atau menafikan tujuan hukum Isla>m yang lima tersebut disebut mafsada>t, yang oleh karena itu upaya menolak dan menghindarkannya disebut maslahat.
Al-Sha>t}iby  menyatakan bahwa tidak semua kemaslahatan duniawi dapat diketahui oleh akal, namun hanya sebagian, dan lainnya diketahui melalui syariat. Jika akal dapat mengetahui segala kemaslahatan duniawi secara mutlak, syariat hanya berfungsi sebagai pedoman ukhrawi, padahal syariat bermaksud menegakkan keduanya, kehidupan duniawi dan ukhrawi.[14] Sehubungan dengan hal inilah, justifikasi pendapat Al-Sha>t}iby  patut dikemukakan bahwa akal itu tidak dapat menentukan baik dan jahatnya sesuatu, maksudnya adalah akal tidak dapat mengatasi syariat dalam menilai baik jahatnya sesuatu sehingga akal harus tunduk kepada wahyu, akal tidak memiliki lahan berfikir kecuali dalam hal yang telah diberikan melalui wahyu. Dengan kata lain akal tidak boleh menjadi subjek atas syariat.[15] Disini sebenarnya dapat dipahami bahwa Al-Sha>t}iby  dalam membicarakan maslahah memberikan dua dlawabith al-maslahah (kriteria maslahat) sebagai batasan: Pertama, maslahahitu harus bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan membuatnya tunduk pada hawa nafsu. Kedua, maslahah itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan sebagian juziyat-nya.[16]
Berdasarkan kandungan dan implikasinya, ulama ushul fiqih membagi maslahah menjadi dua, yaitu al-maslahah al-’ammah dan al-maslahah al-khossoh. Yang pertama adalah maslahah yang berimplikasi pada orang banyak, sementara yang kedua berakibat hanya pada kebaikan pribadi atau golongan saja.[17] Sedangkan berdasarkan segi perubahan maslahah, Mustafa al-Syalabi membagi maslahah menjadi al-maslahah al-thabitah, yaitu maslahah yang tetap dan  tidak berubah sampai akhir zaman, seperti kewajiban ibadah mahdah, dan al-maslahah al-mutaghayyiroh, yaitu maslahah yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.[18]
Al-Ghazali sendiri berdasarkan tolak ukur syara’ membagi maslahah menjadi tiga: Pertama, maslahah  yang memiliki bukti syara’. Kedua, maslahah yang ditolak oleh syara’, dan ketiga, maslahah yang tidak ada kejelasan apakah  ia diakui atau dilarang oleh syara’. Maslahah yang pertama jelas valid dan dapat dijadikan dasar qiyas. Maslahah kedua jelas terlarang. Sedangkan maslahah yang ketiga membutuhkan pertimbangan dan penilaian dari segi kekuatannya yang bersifat hierarki d}arurat, h}ajat, tah}sinat atau tazyinat.[19] Begitu juga Abid al-Jabiri mengusulkan banyak poin untuk dimasukkan ke dalam al-maqas}id, seperti hak menyatakan pendapat, kebebasan berpolitik dan berdemokrasi, hak azazi manusia,[20] hak memilih pemimpin dan menggantinya, hak mendapatkan sandang pangan, dan lain-lain.[21]
Menyangkut kehujjahan maslahah dalam perspektif ulama ushul (us}ulliyun) dan fuqaha (ahli hukum Isla>m), ada dua hal yang patut digarisbawahi: Pertama, semua ulama sepakat menerima kehujjahan maslahah selama keberadaannya mendapatkan dukungan nash (maslahah mu’tabarat). Kedua, perbedaan ulama dalam menanggapi maslahah baru terjadi ketika mereka mendiskusikan kehujjahan maslahah mursalah[22] dan bila terjadi pertentangan (ta’arud) antara maslahah dengan nash syara’.
Hal ini didasarkan atas pandangan menyangkut keberadaan maslahah menurut syara’. Dalam hal ini Mustafa al-Shalabi membaginya menjadi tiga bagian yakni: Pertama, kemaslahatan yang didukung oleh syara’, hal ini berarti terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Kedua, kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.[23]
Sementara al-Ghazali meletakkan beberapa syarat agar maslahah dapat menjadi dalil hukum dalam melakukan istinbat}. Pertama, maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan syara’. Kedua, maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’. Ketiga, maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang d}aruriyah, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak. Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga menyatakan bahwa maslahah hajiyah, apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi maslahah daruriyah. Dalam klausula Ijtiha>d bentuk ini terjadi karena masalah yang diselesaikan sangat kompleks meliputi bidang yang luas, sehingga perlu melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang spesialis pada bidang tertentu.[24] Dalam penjelasan sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa hakikat al-maqa>shi>d dari segi substansi adalah kemaslahatan. Maslahah atau al-mashlahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.[25]

E.   Maqa>s}i>d Al-Shari>’ah sebagai Ijtihad Hukum
Al-Sha>t}\ibi> mendefinisikan ijtihad sebagai “pengerahan kesungguhan dan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan yang pasti dan zanni tentang hukum syara”[26]. Dengan definisi tersebut, al-Sha>t}iby> nampaknya berusaha menyederhanakan pengertian ijtihad, namun memilik arti dasar yang sama, yaitu usaha dengan sungguhsungguh yang dilakukan mujtahid untuk menggali hukum syariat yang bersifat operasional dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan Hadis.[27] Al-Sha>t}iby> membagi ijtihad menjadi dua, yaitu ijtihad yang pelaksanaannya tidak pernah terputus sampai hari kiamat dan ijtihad yang boleh jadi sudah terputus. Tipe pertama dalam kajian metodologi huokum sangat populer dengan tah}qi>q al-mana>t\. Pengertiannya, bagi al-Sha>t}iby>, adalah mengerahkan kemampuan untuk menentukan subtansi obyek (manat\) hukum setelah status hukumnya sendiri sudah diperoleh dari dalilnya yang sah. Sementara dalam tipe kedua, al-Sha>t}iby> memasukkan istilah tanqi>h} al-mana>t\ yang artinya menginvestasi beberapa hal yang mungkin menjadi kata kunci atau logika (‘illat) suatu ketetapan hukum. Dengan tipe terakhir ini, al-Sha>t}iby> memberi gambaran bahwa ijtihad bersifat dinamis dan menitikberatkan pada manusia, kasus atau realita sebagai obyek hukum, bukan pada teks sebagai subyek/sumber hukum[28].
Lebih lanjut al-Shatiby membagi tah}qi>q al-mana>t\ menjadi dua, yaitu: tah}qi>q al-mana>t\ al-‘amm dan tah}qi>q al-mana>t\ al-kha>s\. Tah}qi>q al-mana>t\ al-‘amm adalah hukum yang dikandung oleh sebuah nas hanya berorientasi pada jenis-jenis perilaku manusia, misalnya nas-nas al-Quran-Hadis yang mengandung (hukum pengharaman) pencurian, zina dan khamr, begitu pula nas-nas yang memuat (hukum kewajiban) bekerja, berbuat adil, dan sebagainya. Tapi ketika mencermati realitas kehidupan manusia ternyata perilaku-perilaku manusia itu sendiri bervariasi, tapi seolah-olah dimaksud oleh satu hukum yang mengarah pada jenis-jenis tadi. Sedangkan tah}qi>q al-mana>t\ al-kha>s\ bisa didiskripsikan sebagai berikut: Setiap kasus atau perilaku manusia yang diidentifikasi jenisnya pada tahapan.
Tah}qi>q al-mana>t\ al-‘amm, menurut perangkat tah}qi>q al-mana>t\ al-kha>s tidaklah semuanya sama. Karena setiap kasus, ketika ia membumi dalam realita segera dikemas oleh beberapa faktor yang menentukan yang membuatnya berbeda dengan kasus lain dari segi subtansinya. Logika sederhananya adalah, setiap kasus dan perilaku ditentukan oleh pelakunya sendiri, motivasi, ruang dan waktu. Semua faktor ini tidak mungkin bersatu pada lebih dari satu kasus, karena paling tidak setiap kasus (ketika ia membumi) berbeda dari segi unsur waktunya. Secara operasionalnya, tipe tah}qi>q al-mana>t\ al-kha>s\ lebih rumit dari tipe yang pertama. Karena pada tipe pertama seorang ahli hukum dituntut untuk mengidentifikasi dan mem-verifikasi setiap perilaku/tindakan dari segi proses terjadinya, penyebabnya, motivasinya hasil dan implikasinya[29].
Selanjutnya, ijtihad yang berlangsung sampai hari kiamat, karena berkaitan dengan tah}qi>q al-mana>t\, dan ijtihad yang obyeknya dapat saja berhenti sebelum hari kiamat, karena hal tersebut berkaitan dengan tanqi>h} al-mana>t\ dan takhri>j al-mana>t\. Tah}qi>q al-mana>t\ adalah pandangan/pikiran untuk mengetahui adalah ‘illat dalam bagian-bagian bentuk cabang yang diinginkan qiyasnya terhadap suatu asal. Sedangkan tanqi>h} al-mana>t\ adalah pikiran untuk menetapkan ‘illat yang tetap dengan nas atau ijma’. Adapaun tahrij al-mana>t\ adalah pandangan dan ijtihad dalam mengistinbatkan sifat yang menjadi sebab terhadap hokum yang telah ditunjukkan oleh nas atau ijma’.
Sesudah ijma’ dan qiyas, metode selanjutnya adalah mas}lah}ah, yakni al-mas}a>lih} al-mursalah yang didefinisikan sebagai metode ijtihad yang diberlakukan ketika sesuatu masalah tidak ada sumber nasnya dalam syariat, dalam hal ini jika juga tidak ada sumbernya dari ijma’ dan selainnya semisal qiyas. Al-mas}a>lih al-mursalah sebenarnya telah dipraktekkan sejak masa Nabi Muhammad. Hal ini telah banyak dilakukan oleh para sahabat dan Nabi Muhammad sendiri membenarkannya. Secara tekstual sahabat telah menyalahi syara’, sebab telah melakukan di luar ketentuan. Namun sahabat melihat mas}lah}ah yang besar dibalik itu, dan tidak akan menimbulkan mafsadat jika melakukannya, maka teks ditinggalkan dan beralih kepada konteks, sebab pada kondisi tertentu teks tidak relevan, dan kondisi itu pula yang menghendaki untuk beralih kepada yang lebih maslahah, meskipun tidak ada aturannya secara ekpslisit.
Maslahah dalam bentuk jamaknya mas}a>lih, menurut al-Sha>tibi> ialah apa yang melandasi kesempurnaan hidup manusia dan memungkinkan manusia dapat memperoleh kebutuhan hidup sehingga manusia dapat hidup sejahtera. Hal ini tidak dapat dicapai begitu saja secara i’tiya>d (menurut biasanya) saja, justru usaha mencapai kemaslahatan itu memperhadapkan manusia pada berbagai tantangan yang sulit. Seperti halnya soal makan, minum, pakaian, perumahan, kendaraan, pernikahan dan lain-lain, tidak akan mungkin diperoleh kecuali dengan kerja keras.
Maqa>s}id al-shar`i>yah ataupun maqa>s}id al-shari>’ah bukanlah sebuah cabang ilmu yang baru dimunculkan pada abad-abad terakhir masa ulama muta`akhirin atau mereka yang disebut dengan ulama kontemporer, namun karena pembahasan terhadap masalah ini mendapat perhatian lebih dibandingkan bab-bab lainnya dalam ilmu syari`ah dan bentuk ijtihad lainnya, maka ilmu ini terkesan `produk baru`. Berdasarkan pembacaan sejarah terhadap cabang ilmu ini, kebanyakan mengklaim bahwa Imam Al-Sha>tiby adalah tokoh yang pertama kali mengangkat maqa>s}id sebagai cabang ilmu dalam memahami shari`ah dalam bukunya Al Muwa>faqa>t yang sebelumnya bernama ‘Unwan at-Ta`rif bi Asra>r at-Takli>f`. Hal ini adalah wajar, karena pada realitasnya, bahwa Imam al-Sha>t}iby> adalah ulama pertama yang menyusun sebuah buku yang fokus membicarakan perihal maqa>s}id ini, meskipun pada tataran praktek penggunaan dan substansi, ilmu ini sudah mulai diangkat sejak abad ke-3 H, oleh ulama-ulama salaf seperti Imam at-Tirmiz}i al-Hakim, Abu Mans}u>r al-Matu>ridy (333 H), Abu Bakar Qaffal al-Shasy (365 H), Abu Bakar al-Abhary (375 H), al-Baqillani (403 H), yang selanjutnya adalah dua ulama yang kitabnya merupakan ummaha>t al-kutu>b dalam t}ari>qa al-shafi`i>yah/mutakallimi>n yaitu Imam al-Hara>main dan muridnya Imam al-Ghazali, bahkan disebutkan bahwa Imam al-Hara>main menyebutkan lafaz `maqa>s}id, maqs\u>d, dan qas\du sebanyak 10 kali dalam kitabnya al-Burha>n. Namun dengan data ini tidaklah berarti bahwa ulama-ulama sebelum abad ke-3 H tidak melirik maqa>s}id dalam ijtihad-ijtihad mereka, karena pada hakikatnya ilmu ini tidak terlepas dalam proses ijtihad, namun tidak ‘terbahasakan’ secara eksplisit dalam kitab dan ijtihad mereka. Adapun lebih lanjut mengenai defenisi maqa>s}id, Imam al-Sha>t}iby> tidak menguraikan secara langsung dalam kitabnya, hal ini disebabkan banyak hal, diantaranya sudah adanya pemahaman secara jelas mengenai perihal maqa>s} id ini dari kitab-kitab ulama sebelumnya, maka tidaklah heran jika Imam al-Sha>t}iby> tidak mendefenisikan maqa>s}id baik secara bahasa ataupun istilah. Dalam pemikiran al-Sha>t}iby>, sha>ri’ah diturunkan untuk merealisasikan maqa>s}id al-shar‘i> secara mutlak, kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Kemaslahatan yang dimaksud bukanlah kemaslahatan dengan mengikuti hawa nafsu saja, tetapi kemaslahatan duniawi yang mengarah kepada kemaslahatan ukhrawi sesuai dengan tuntunan Ilahi.
Dalam teori ini, tampak sekali bahwa kemaslahatan adalah hal yang menjadi tujuan diturunkannya syariat ini. Permasalahannya adalah bahwa kemaslahatan manusia dari satu masa ke masa lainnya dan dari satu tempat ke tempat lainnya mengalami perubahan, sesuai dengan situasi dan kondisi masa dan tempat itu. Oleh karenanya, sebuah produk fikih yang dihasilkan pada masa tertentu belum tentu bisa diaplikasikan pada masa yang berbeda dengan masa itu; demikian juga bila sebuah produk dihasilkan di suatu tempat belum tentu pula bisa diaplikasikan di tempat lain.
Berdasarkan ini, tampaknya model ijtihad tatbīqī yang ditawarkan al-Sha>t}iby> menjadi sesuatu yang niscaya dan harus dilakukan oleh setiap fuqaha atau bahkan oleh setiap individu dalam lingkup lebih sempit, di setiap tempat dan pada setiap masa. Bila ini tidak dilakukan, maka tujuan utama sha>ri’ah dalam merealisasikan maslahat duniawi untuk kepentingan ukhrawi sangat mungkin mendapatkan kendala serius. Ijtihad harus menyesuaikan diri dengan realita sama halnya realita harus diarahkan oleh ijtihad. Perlu dipertegas bahwa dialog ijtihad dan realita seperti itu sama sekali tidak berarti penegasan perlunya ijtihad memenuhi semua kebutuhan realita, seperti yang dipahami dari kupasan-kupasan sebagian kalangan. Karena yang diinginkan tidak lebih dari sebuah penegasan bahwa ijtihad yang benar adalah ijtihad yang realistis yang memahami kecenderungan realita, selalu melirik realita dan tidak berpaling darinya, ijtihad yang memperdayakan realita dan tidak mengabaikannya, ijtihad yang membangun atas dasar realita dan tidak berangkat dari sesuatu yang hampa.



F.   Natijah
1.      Al-Sha>t\ibi> menyederhanakan syarat-syarat ijtihad menjadi 2 syarat saja, yang pertama adalah mengetahui maqa>s} id al-shari>’ah dan kedua adalah memiliki kompetensi istinba>t\ yang didasarkan atas pemahaman terhadap maqa>s}id al-shari>’ah. Asy-Sya>t\ibi> lebih menitik beratkan pada masalah pemahaman maqa>s}id al-shari>’ah, sebab ia adalah ulama us}ul yang berorientasi pada pengembangan teori maqa>s}id. Selanjutnya ia mengungkapkan bahwa syariat terbangun atas kemaslahatan. Setelah melalui pengamatan secara menyeluruh, kemaslahatan tersebut terklasifikasikan menjadi tiga strata, yaitu d}aru>riya>t, h}ajiya>t, dan tah}siniya>t. Dengan berbagai perubahan yang berlangsung secara cepat dewasa ini menyangkut berbagai aspek kehidupan, pikiran dan tingkah laku serta masalah-masalah yang bersangkutan paut dengan hukum Islam yang menimbulkan berbagai persoalan baru maka diperlukan suatu formulasi yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam memecahkan permasalahan tersebut. Di sinilah ijtihad sebagai institusi yang dinamis berperan besar dalam mendinamisasikan hukum Islam untuk menjawab tantangan zaman
2.    Formulasi hukum Islam untuk menjawab kebutuhan zaman harus didasarkan kepada maqasid al-shari’ah sekaligus maslahah. Sebagai agama rahmatanlilalamin, Islam memiliki prinsip-prinsip yang harus ditegakkan seperti prinsip keadilan, kebebasan dan sikap toleran terhadap agama yang lain.


[1] Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Isla>mic Law, Oxford: University Press, 1964, hlm. 1.
[2] Secara literal syari’ah berarti sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Menurut Ibn al-Manz}u>r syariat itu artinya sama dengan agama. Baca Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Ara>b, juz XI, hal. 631. Al-Sha>t}iby(w.1388 M), menyatakan bahwa syari'ah merupakan aturan-aturan Tuhan dengan mana manusia "mukallaf" (dewasa) mendasarkan tindakan-tindakan, ucapan-ucapan dan keyakinan-keyakinannya. Lihat Al-Sha>t}iby, Al Muwa>faqa>h. I, hal. 49.
[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Isla>m, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 44
[4] Sebenarnya tidak ada arti yang sempurna tentang hukum. Namun, untuk mendekatkan kepada pengertian yang mudah dipahami, meski masih mengandung kelemahan, peneliti perlu menyajikan devinisi terdekat deangan kata hukum Isla>m itu sendiri. lihat AS. Honrby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Britain: Oxford University Press, 1986, hlm. 478.
[5] Abu Ishaq As-Syatibi adalah filosof hukum Isla>m dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi sering dihubungkan dengan nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab). Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Ghanada.
[6]Lihat dalam Abu Ishaq Al-Sha>t}iby, Al Muwa>faqa>t, (Libanon: Dar Ibn ‘Afa>n, tt), Jilid 2. h. 17-18. Bandingkan dengan analisa Asafri Jaya Bakri. Konsep Maqa>sid shari’ah Menurut Al-Sha>t}iby (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 63-64. Lihat juga Asmuni, “Studi Pemikiran al-Maqasid (Upaya Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)”. Jurnal Mawarid, Edisi XIV Tahun 2005. hal. 11-12.
[7]Abu Hamid Al-Gazali, al-Mustas}fa min Ilm Us}ul, Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al-Ashqar, Beirut/Lebanon: Al-Resalah, 1997 M/1418 H, h. 416-417. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin bin Ahmad al-Tu>si Abu Hamîd al-Ghazali. Ia adalah Ulama> yang amat berpengaruh di dunia Isla>m, la dilahirkan di desa Ghazaleh, dekat Thus Iran tahun 450 H dan wafat tahun 505 H, ia juga scorang ahli Ushu>l, filosof dan sufi. Diantara karyanya: ih}ya Ulu>m al-Dîn dan al-Mustasfa>. (Pengantar al-Mustash}fa>, juz II,' h.129)
[8]Al-Sha>t}iby, Al Muwa>faqa>t... h. 17-20. Dan lihat juga bagaimana komentar Abu ‘Ubaidah dalam hal. 6-7. Bandingkan dengan Hamka Haq, Al-Syathiby Aspek, hal. 103.
[9] Ibid. hal 19, Senada dengan al-Qarafy, Yusuf Qardawi juga menjelaskan bahwa di antara hukum­-hukum hasil ijtihad terdapat hukum yang landasannya kemaslahatan temporal, yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan, berarti harus ada perubahan hukum yang menyertainya. Lihat Yusuf al-Qardawi, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Isla>m, (Jakarta Timur: Pustaka al-­Kautsar, 1999), hal. 256-260
[10] Al-Sha>t}iby, Al Muwa>faqa>t... Jilid 2 h. 25. Bandingkan dengan Hamka, Al-Syathibi Aspek....., hal. 103
[11] Ibid.
[12]Al-Sha>t}iby, Al Muwa>faqa>t... Jilid 2 h. 25 lihat juga Hamka Haq. al-Syathibi Aspek....hal. 83
[13] Al-Gazali, al-Mustas}fa min Ilm Us}u>l, ……h. 414 – 416. 416-417.
[14]Al-Sha>t}iby, Al Muwa>faqa>t... h.7 lihat juga Yusdani. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Isla>m Najamuddin al-Thufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 31
[15] Yusdani. Peranan Kepentingan ......hal. 8
[16] Asmuni, Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang Dinamis, dikutip dari www.yusdani.com. di akses pada 22 Oktober 2009.
[17] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Isla>m. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996). 1144
[18] Ibid. hal. 1145
[19] Berbeda dengan kebanyakan pemikir di atas yang juga banyak diikuti oleh para ulama, Jaringan Isla>m Liberal, dengan Ulil Abshar Abdalla sebagai juru kunci justru membagi maslahah menjadi dua, yakni: pertama, maslahah kulliyah asasiyah (maslahah universal fundamental), adalah maslahah yang bersifat lintas batas cakupan. Masuk dalam kategori ini adalah keadilan (‘adl), kesetaraan (musawah), kebebasan (hurriyah), dan sejenisnya. Kedua, maslahah far’iyyah juz’iyyah (maslahah partikular), adalah kemaslahatan yang terus menerus mengalami perubahan-perubahan seiring dengan peradaban manusia. Artinya maslahah jenis ini bersifat tentatif, relatif, dan biasanya lokal. Imam Mustofa. “Ijtihad …hal. 75-77. Lihat juga Ulil Abshar Abdalla, Isla>m Pribumi; Menolak Arabisme, Mencari Wajah Isla>m Indonesia, dalam Zuhairi Misrawi (ed), Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004), hal. 108
[20]Lihat juga Muhammad Abid al-Jabiri. Agama, Negara dan Penerapan Syariah. Terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hal.175-183
[21] Mujiburrahman. Mengindonesiakan Isla>m. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 163. Lihat juga Muhammad Abid al-Jabiri. Kritik Pemikiran Isla>m Wacana Baru Filsafat Isla>m. Terj. Burhan (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003).
[22] Lihat Abdul Halim. “Maslahah Mursalah Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Isla>m”. Antologi Kajian Isla>m Tinjauan Filsafat, Tasawwuf, Institusi, Pendidikan, al-Qur’an, Hukum dan Ekonomi Isla>m. Seri 12. (Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hal. 39.
[23] Nash sendiri dalam pandangan ulama Us}u>l berdasarkan dalalahnya dibagi ke dalam dala>lah qoth’iyah dan dala>lah dzonniyah, Tidak ada yang menyanggah bahwa nash-nash tersebut ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Menyangkut penetapan hukum, untuk menjadikan maslahahsebagai dalil dalam menetapkan hukum, madzhab Maliki dan Hanbali mensyaratkan tiga hal: Pertama, kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum. Kedua, kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahahitu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak mudarat. Ketiga, kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.  Lihat Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Us}u>l Fikih. Terj. Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 36-37. Lihat juga Imam Az Zubaidi, Ringkasan Hadist Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) dan Imam Az Zubaidi, Ringkasan Hadist Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) Lihat juga Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi…hal. 1146-1147.
[24] Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtiha>d, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 273
[25] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Isla>m. ..... h. 1143.
[26] Asy-Sya>t\ibi>, al-Muwa>faqa>t, III, h. 268 - 270
[27] Menurut al-Sha>t\ibi>, derajat ijtihad dapat dicapai apabila seseorang memiliki dua kriteria, yaitu dapat memahami maqa>s}id al-shar‘i> secara sempurna dan berkemampuan dalam menarik kandungan hukum atas dasar pengetahuan dan pemahaman maqa>s}id al-shar‘i>. Kedua kriteria ini saling terkait, sementara kriteria kedua merupakan alat bantu atau wasilah bagi kriteria pertama yang merupakan tujuan. Termasuk dalam kriteria alat bantu tersebut, diantaranya; pertama, pengetahuan bahasa Arab. Seorang mujtahid, wajib mengetahui bahasa Arab dalam artian menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmunya sehingga mampu memahami pembicaraan orang-orang Arab. Di kalangan ulama usul, agaknya telah ada kesepakatan tentang mutlak dan perlunya seorang mujtahid menguasai bahasa Arab dengan berbagai aspeknya seperti nahwu, saraf dan balagah. Persyaratan ini sangat penting mengingat orientasi seorang mujtahid adalah memahami nas-nas al-Qur’an dan Hadis yang memakai bahasa Arab. Bagi al-Sha>t\ibi>, pengetahuan dan kemampuan bahasa Arab untuk memahami al-Qur’an dan Hadis merupakan tolak ukur pemahaman shari’ah itu sendiri. Kedua, memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an. Dalam syarat kedua ini, yang ditentukan adalah pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat. Untuk mencapai pemahaman yang baik terhadap al-Qur’an, al-Sha>t\ibi> mengharuskan para mujtahid tersebut dapat menghindarkan adanya pertentangan diantara nas-nas al-Qur’an dan sebab turun ayat merupakan faktor yang cukup menentukan maksud dari suatu ayat. Hal ini menunjukkan bahwa maqa>s} id al-shar‘i> berkaitan erat dengan kandungan ayat al-Qur’an. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah. Syarat ketiga menurut al-Sha>t\ibi> adalah memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam. As-Sunah merupakan penjabaran dari al-Qur’an yang menempati posisi lebih rendah dari yang dijabarkan, sehingga peranan as-Sunnah cukup penting dalam memahami al-Qur’an, termasuk kandungan maqa>s}id al-shar‘i>. Pemahaman maqa>s}id al-shar‘i> yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pemahaman terhadap as-Sunnah karena kedua sumber ini tidak dapat dipisahkan. Al-Sha>t\ibi>, al-Muwa>faqa>t, III. h. 258 - 259
[28] Asy-Sya>t\ibi> mengajukan metode-metode khusus pelaksanaan hukum Islam dengan maqa>s}id al-shar‘i. Metode khusus ini dianggap penting mengingat dalam operasionalnya mekanisme langsung dengan nas yang disebut dengan ijtihad istinbati dan mekanisme ijtihad yang tidak berkaitan langsung dengan nas yang disebut ijtihad tatbiqi. Yang menjadi obyek kajian dalam ijtihad istinbati adalah nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum. Dalam penggalian terhadap nas-nas tersebut dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan pertama digunakan sebagai alat untuk meneliti cakupan dan menarik kesimpulan untuk menyimpulkan hukum yang tidak terdapat dalam nas dengan cara melihat indikasi, prinsip-prinsip umum, semangat dan tujuan yang terkandung dalam nas al-Qur’an dan Hadis. Adapun ijtihad tatbiqi, dilakukan untuk mengantarkan seorang mujtahid kepada penerapan hukum secara tepat pada kasus yang terjadi. Obyek kajiannya adalah manusia dengan segala perbuatannya, dalam segala kondisi dan perubahan yang dialaminya. Yang diperlukan dalam ijtihad tatbiqi adalah pengetahuan mengenai kondisi dan realitas manusia yang menjadi tempat penerapan hukum agar ketetapan hokum yang dihasilkan dapat sesuai dengan maqa>s}id al-shar‘i> dan prinsip-prinsip dasar hukum Islam. Pemahaman terhadap alasan-alasan, hikmah dan tujuan syariat tersebut sangat penting untuk memahami nas karena hal itu merupakan esensi ajaran al-Qur’an sehingga dengan melakukan pengkajian yang mendalam tentangnya akan mengantar pada identifikasi dan pemahaman setepat mungkin tujuan-tujuan, sasaran umum syar‘i. Dengan melihat metode ijtihad di atas dan peranan maqa>s}id al-shar‘i> yang besar dalam metode tersebut, maka penelaahan harus bertitik tolak dari obyek ijtihad. Al-Sha>t\ibi>, al-Muwa>faqa>th. 64
[29] Terdapat tiga macam ijtihad dalam upaya penerapan maqa>s}id al-shar‘i>. Pertama, ijtihad bayani, yaitu upaya penggalian hukum dari suatu nas} dengan bertumpu pada kaidah-kaidah lughawi (kebahasaan). Kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak, mana ayat yang umum (‘am), dan mana pula yang khusus (khas\), kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula dianggap sunah, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya. Ijtihad bayani merupakan usaha mencari penjelasan atau interpretasi hakekat yang dimaksud, baik yang tersurat maupun yang tersirat didalam suatu nas. Oleh karena ijtihad bayani ditujukan kepada teks-teks syari’ah untuk memahami kandungan hukum yang dimaksud, maka pola ini bertitik tolak dari kaedah-kaedah kebahasaan. Sebagai contoh, ulama sepakat bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa ‘iddah ini dianggap qat\’i, akan tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut, ada yang menyatakannya sebagai masa suci, dan ada yang menyatakan sebagai masa haid. Kedua, ijtihad qiyasi adalah usaha mencari persamaan hukum atau menentukan ‘illat dalam suatu masalah yang dicari hukumnya sehingga disebut juga dengan ijtihad ta’lili. Ijtihad ta’lili merupakan upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan ‘illat hukum yang terdapat dalam suatu nas. Corak penalaran ini didukung oleh kenyataan bahwa nas al-Qur’an dan Hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum diiringi dengan penyebutan ‘illat hukumnya.11 Atas dasar ‘illat yang terkandung dalam suatu nas, permasalahan-permasalahan hokum yang muncul diupayakan pemecahannya oleh mujtahid melalui penalaran terhadap ‘illat yang ada dalam nas tersebut. Corak penalaran ta’lili tampak dalam metode qiyas dan istih}san. Qiyas sebagai istinba>t\ ta’lili merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nas. ‘illat yang tertera dalam nas merupakan fokus qiyas dan menjadi bagian dari maqa>s}id al-shar‘i>. Sebagai contoh tentang peranan maqa>s}id al-shar‘i> dalam metode qiyas adalah larangan memukul orang tua yang diqiyaskan kepada larangan berkata kasar dan menyakitkan yang ditujukan dalam al-Qur’an Surah al-Isra’ ayat 23. Ayat ini bertujuan membimbing manusia untuk selalu menempatkan orang tua pada posisi yang terhormat yang merupakan bagian dari maqa>s}id al-shar‘i>. Dengan melihat ‘illat yang disebut oleh nas, maka hukum memukul orang tua yang tidak disebut nas menjadi lebih tegas. Ketiga, ijtihad istislah, yaitu upaya penggalian hukum dari suatu nas dengan bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur’an dan Hadis. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjukkan oleh kedua sumber hukum. Artinya kemaslahatan tersebut tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung, baik melalui proses ijtihad bayani maupun ta’lili, sehingga dikembalikan kepada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nas. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan, yaitu d}aru>riyat, h}ajiyat, dan tah}sinat. Prinsip-prinsip umum ini dideduksikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Ijtihad istislah sudah pernah dilakukan oleh para sahabat dan perlu dikembangkan sebagai antisipasi perkembangan pemikiran dalam Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Ijtihad istislah ini adalah mencari hukum yang didasarkan pada kemaslahatan yang akan dicapai oleh hukum tersebut. Karena suatu masalah belum ada ketentuan hukumnya, baik di dalam al-Qur’an maupun Hadis, padahal kedua sumber hukum tersebut tentu memuat ketentuan umum yang tersirat sehingga memerlukan penelitian secara mendalam untuk pengungkapan. Misalnya, masalah bayi tabung yang tidak mempunyai nas khusus sebagai rujukan. Karena itu, untuk menentukan hukumnya digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti “menolak kemudaratan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan”, “untuk setiap kesulitan ada jalan keluar yang bisa dicarikan.” Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami sendiri. Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, terj. Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1994), h. 50. Lihat juga, Muhammad Salam Madkur, al-Ijithad Fi> al-Tashri’ al-Islam (ttp. Da>r al-Nah}dah, 1984), h. 42-45. Muhammad Mustafa Syalbi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut: dar al-Mahda al-Arabiah, 1981), hlm.14.

Komentar

Postingan Populer