LANDASAN FILSAFAT, ILMU DAN FILSAFAT ILMU

LANDASAN FILSAFAT, ILMU DAN FILSAFAT ILMU
Oleh :
Bustanul Arifin, S.HI.

A.  Pengertian Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
Pengertian filsafat merupakan suatu pertanyaan filsafati yang tidak ada kesatuan pendapat atau bahkan bertentangan antara satu sama lain dalam jawabannya. Setiap filsuf terkemuka dan sesuatu aliran filsafati mana-pun akan memberikan definisi filsafat yang berlainan, sesuai dengan sesuatu segi yang menjadi pusat perhatiannya. Misalnya seorang filsuf yang berpangkal pada sesuatu pandangan dunia akan menyatakan bahwa filsafat merupakan suatu pemikiran rasional tentang pandangan dunia dalam kehidupan manusia. Sedang suatu aliran filsafat yang menitik-beratkan pada segi bahasa dalam filsafat akan menegaskan bahwa filsafat adalah analisis kebahasan untuk mencapai kejelasan mengenai makna dari kata-kata dan konsep.[1]
Demikianlah, dalam sejarah peradaban manusia dan perkembangan filsafat sepanjang zaman yang telah bermunculkan banyak sekali definisi filsafat yang berbeda-beda dan cukup membingungkan. Oleh sebab itu Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dahulu; nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat, maka orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu.[2] Begitupun juga dengan Langeveld yang berpendapat bahwa setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat, maka ia akan semakin mengerti apa filsafat itu.[3]
Ke-dua pendapat ini ada benarnya, sebab intisari berfilsafat terdapat dalam pembahasan dan bukan pada definisi.Namun definisi filsafat untuk dijadikan patokan awal sangat diperlukan, dikarenakan hal ini berfungsi sebagai pemberi arah dan cakupan obyek yang dibahas, terutama yang terkait dengan filsafat ilmu ini. Oleh sebab itu dikemukakan beberapa definisi yang gunanya untuk sedikit menyikapi apa filsafat itu. Poedjawijatna misalnya mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Selain itu Hasbullah Bakry mengatakan bahwa filsafat merupakan sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.[4]
Dari definisi tersebut, maka Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang penting yaitu bahwa filsafat merupakan pengetahuan yang diperoleh dari berfikir[5] dan ciri yang terkandung didalamnya berupa apa yang ia peroleh dengan jalan berpikir serta hasilnya-pun berupa pemikiran.
Dengan mengatakan bahwa filsafat ialah hasil dari pemikiran, maka sudah tentu hal ini tidak terlepas dari struktur filsafat yang terdiri dari tiga cabang besar yaitu  ontologi, epistemelogi dan aksiologi filsafat, ke-tiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan cukup sulit untuk dipisahkan.
Dalam hal ini (pengetahuan filsafat), lebih ditekankan pada epistemelogi,[6] bahwa epistemelogi terletak pada “objek filsafat” (yang dipikirkan mencakup keseluruhan dalam artian “luas” baik itu yang “ada” dan yang “mungkin ada”)[7] dan “cara memperoleh pengetahuan filsafat dan potensi yang digunakan.”[8]serta “ukuran kebenaran pengetahuan filsafat.”[9] Hingga pada akhirnya, kesimpulanyang dapat di ambil bahwa “filsafat” merupakan inti-sari pengetahuan yang hanya logis (dapat diterima akal) dan tidak empiris (tidak berdasarkan pada fakta nyata yang sebenarnya namun disandarkan pada bukti yang hanya berorientasi pada sesuatu yang bersifat “rasional”)[10]
Pengertian ilmudalam bahasa Inggris digunakan istilah “science” yang berarti ilmu pengetahuan dan dalam bahasa Latin di ambil dari kata “scientia” yang berarti pengetahuan atau “scire” yang berarti mengetahui.[11]Dengan demikian istilah “ilmu” pada awalnya dapat disamakan dengan “pengetahuan.”[12]Namun dalam taraf perkembangannya bahwa pengertian ilmu dibedakan dengan pengetahuan, hal ini disebabkan oleh ilmu itu sendiri bahwa ilmu merupakan produk dari pengetahuan sains dan ilmu[13] dibutuhkan pandangan, penelitian yang logis, teratur kritis dan sistematis terhadap objek yang dikaji dan hasilnya-pun dapat dipertanggung-jawabkan, hal ini sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh Poespoprodjo.[14]
Disamping itu menurut Archie J. Bahm dalam bangunan ilmu pengetahuan, harus terdiri dari enam komponen[15]yaitu : adanya “masalah atau problem,”[16]adanya sikap (sikap ilmiah),[17] menggunakan metode ilmiah,[18]adanya aktifitas,[19]adanya kesimpulan dan adanya pengaruh.[20]
Hingga pada akhirnya kesimpulan yang diperoleh bahwa “pengertian ilmu” adalah rangkaian aktifitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau keorangan untuk tujuan mencapai, kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan.[21]
Pengertian filsafat ilmu (Philosophy of science) sebagaimana yang didefinisikan oleh Robert Ackermann yaitu “filsafat ilmu” dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, akan tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya. Dari Lewis White Beck filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai satu keseluruhan ilmiah. Dari Antony Flew bahwa filsafat ilmu merupakan ilmu empiris yang teratur yang menyajikan hasil yang paling mengesankan dari rasionalitas manusia dan merupakan salah satu dari calon yang di akui terbaik untuk pengetahuan. Filsafat ilmu berusaha menunjukkan dimana letak rasionalitas itu, apa yang khusus mengenai penjelasan-penjelasannya dan konstruksi-konstruksi teorinya, apa yang memisahkannya dari perkiraan dan ilmu-semu serta membuat ramalan-ramalannya dan berbagai teknologi berharga untuk dipercaya yang terpenting apakah teori-teorinya dapat diterima sebagai mengungkapkan kebenaran tentang suatu realitas objektif yang tersembunyi.[22]
Dengan demikian filsafat ilmu merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan, sebab pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higher level’ dalam perangkat pengetahuan manusia, dalam artian sebagaimana yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Oleh karena itu objek kedua cabang filsafat ini, sering berhimpitan, namun berbeda dalam aspek dan motif pembahasannya.
Objek filsafat ilmu adalah tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan yaitu ontologi (sebagai salah satu cabang filsafat membahas apa hakikat (being qua being) itu, idealisme atau spritualisme dan lain sebagainya merupakan paham dalam filsafat ontologi, masing-masing mempunyai keyakinannya sendiri-sendiri mengenai apa ‘hakikat ada’ itu, konsekuensinya akan sampai pada perbedaan pandangan tentang apa yang disebut kebenaran atau kenyataan, yang pada gilirannya juga akan sampai pula pada perbedaan dalam menggunakan sarana dalam mencapai kebenaran atau kenyataan tadi), epistemologi (sebagai cabang filsafat membahas apa sarana dan bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan, dan bagaimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu, rasionalisme, empirisme dan lain sebagainya merupakan paham-paham dalam epistemologi) dan aksiologi (sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas nilai (value) sebagai imperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praksis).
Hingga pada akhirnya kesimpulan dari pengertian filsafat ilmu bahwa ia (filsafat ilmu) bukanlah sekedar metode atau tata cara penulisan karya ilmiah maupun penelitian, bahkan merupakan refleksi secara filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan.[23]
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuansecara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah.Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmupengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuanyang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah.Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat.Disamping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).

B.  Landasan Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
1.    Landasan Filsafat
Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk ‘berfilsafat’ yaitu sebagai berikut.
a.    Keheranan
Banyak filsuf menunjukkan rasa heran (dalam bahasa Yunani thaumasia) sebagai asal filsafat.Plato misalnya mengatakan: “Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini member dorongan untuk menyelidiki.Dari penyelidikan ini berasal filsafat”.
b.    Kesangsian
Filsuf-filsuf lain, seperti Augustinus (256-430 M) dan Rene Descartes (1596-1650 M) menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh pancaindranya kalau ia heran? Apakah kita tidak hanya melihat yang ingin kita lihat?Dimana dapat ditemukan kepastian?Karena dunia ini penuh dengan berbagai pendapat, keyakinan dan interpretasi.
c.    Kesadaran Akan Keterbatasan
Manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Manusia merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan. Dengan kesadaran akan keterbatasan dirinya manusia mulai berfilsafat. Ia mulai memikirkan bahwa diluar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas (Harry Hamersma,1988, hal 11)
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat a priori atau a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengalaman a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Abbas Hamami M., 1982, hlm.11)
2.    Landasan Ilmu
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut Jhon Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu sebagai berikut.
a.    Pengalaman indra (sense experation)
b.    Nalar (reason)
c.    Otoritas (authority)
d.    Intuisi (intuition)
e.    Wahyu (revelation)
f.     Keyakinan (faith). (Abbas Hamami M.,1982, hlm. 16)
Berikut ini penjelasan dari enam hal tersebut.
a.    PengalamanIndra(Sense Experience)
Orang sering merasa pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan.Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk menyerap segala sesuatu objek yang ada diluar diri manusia.Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut ‘realisme’.Realisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang diketahui adalah hanya kenyataan. Jadi,pengetahuan berawal mula dari kenyataan yang yang dapat diindra. Tokoh pemula dari pandangan ini adalah Aristoteles, yang berpendapat bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah dibawah pengaruh objek, artinya bentuk-bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas-bekas dalam kehidupan batin. Objek masuk dalam diri sabjek melalui persepsi indra (sensasi). Yang demikian ini ditegaskan pula oleh Aristoteles yang berkembang pada abad pertengahan adalah Thomas Aquinas yang mengemukakan bahwa tiada sesuatu dapat masuk lewat kedalam akal yang ditangkap oleh indra.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekhilafan akan terjadi apabila ada ketidaknormalan di antara alat-alat itu.
b.    Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan mengabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah tentang asas-asas  pemikiran berikut
Principium Identitas, adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A=A). asas ini biasa juga disebut asas kesamaan.
Principium Contradictionis, maksudnya bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-duanya benar dalam waktu yang bersamaan atau dengan kata lain pada subjek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut sebagai asas pertentangan.
Principium Tertii Exclusi, yaitu pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran hanya terdapat satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga.Asas ini biasa disebut asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
c.    Otoritas(Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang maempunyai kewibawaaan dalam pengetahuannya.Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
Jadi sebagai kesimpulan bahwa pengetahuan yang terjadi karena adanya otoritas adalah pengetahuan yang terjadi melalui wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
d.    Intuisi(Intuition)
Intiusi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan dengan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.Dengan demikian sesungguhnya peran intuisi sebagai sumber pengetahuan karena intuisi merupakan suatu kemampuan yang ada dalam diri manusia yang melahirkan berupa pernyatan-pernyataan yang berupa pengetahuan.
e.    Wahyu(Revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya untuk kepentingan umatnya.Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pegetahuaan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan kita.
f.     Keyakinan (Faith)
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan yang berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat lain yang dipergunakannya adalah kepercayaan. Perbedaannya barangkali jika keyakinan terhadap wahyu yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama.Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia yang merupakan pematangan (maturation) dari kepercayaan.Karena kepercayaan itu bersifat dinamis mampu menyusuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi.Adapun keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok untuk kepercayaannya.

3.  Landasan Filsafat Ilmu
Pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diujikebenaran (validitas) ilmiahnya.Sedangkan pengetahuan yang prailmiah,walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namunbersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehinggatidak dimasukkan dalam ilmu.Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiahkarena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderungmenyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazimdisebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuanyang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistikini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib disekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalamartian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya.Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyaiimplikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihandalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahuisegala-galanya.Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaanprimitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan,sebagai implikasi belum adanya di-versifikasi pekerjaan. Seorangpemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lainsebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabatpernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampumenyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsionalyang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusiatelah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampumengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya.Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyekmetafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmutersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggakciri awal pengembangan ilmu.Dalam hal ini subyek menelaah obyekdengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-matamengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satuciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjutmenjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secaraanalisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikirsecara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Halini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapatpada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah terujikebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran, kesimpulantersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yangbersangkutan.Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastiankebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifatrasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secarainduktif.Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antarahasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian,dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus.Sesudah melaluitahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional.Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas darikepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memilikipengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengankegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahapfungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologifilsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalismeterkait dengan kaidah moral.Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembanganpengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yangmenyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segiontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapaiilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial.Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensiruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi.Dengandemikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur,sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarikkesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaibseperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaah kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputiaspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah,di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh dataempiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkahpokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yangberlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.Logika berasal dari bahasa latin yakni Logos yang berarti perkataan atau sabda. Dalam bahasa arab di sebut Mantiq. Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu.Logis dalam bahasa sehari-hari kita sebut masuk akal.
Kata Logika dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium.Kaum Sofis, Socrates, dan Plato dianggap sebagai perintis lahirnyalogika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dankaum Stoa. (Russell, Mundiri 2006). Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut Organon. Buku ituterdiri dari Categoriae (mengenai pengertian-pengertian) De Interpretatiae (keputusan-keputusan), Analitica Priora (Silogisme),Analitica Porteriora (pembuktian), Topika (berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (kesalahan-kesalahan berpikir). Theoprostus kemudian mengembangkan Logika Aristoteles dan kaum Stoa yang mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis (Angel, Mundiri 2006). Logika dapat di sistemisasi dalam beberapa golongan:
1.    Menurut Kualitas dibagi dua, yakni Logika Naturalis (kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia) dan Logika Artifisialis (logika ilmiah) yang bertugas membantu Logika Naturalis dalam menunjukkan jalan pemikiran agar lebih mudah dicerna, lebih teliti, dan lebih efisien.
2.    Menurut  Metode dibagi dua yakni Logika Tradisional yakni logika yang mengikuti Aristotelian dan logika Modern
3.    Menurut Objek dibagi dua yakni Logika Formal (deduktif dan induktif) dan Logika Material.
Dalam permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni“kata”.Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk pemikiran.Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif (tidak adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat sedikit/terbatas), konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk sifat, keadaan,kegiatan yang terlepas dari objek tertentu), mutlak (dapat difahami sendiri tanpa hubungan dengan benda lain), relatif (dapat difahami sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak bermakna.Selain itu kata juga dilihat berdasarkan predikatnya.
Selanjutnya adalah defenisi.Defenisi adalah karakteristik beberapa kelompok kata.Karakteristik berarti melihat jenis dan sifatpembeda.Jadi mendefenisikan berarti menganalisis jenis dan sifatpembeda yang dikandungnya. Agar membuat defenisi terhindar dari kekeliruan ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan yakni: (a) defenisi tidak boleh luas atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefenisikan(b) tidak menggunakan kata yang didefenisikan (c) tidak memakai penjelasan yang justru membingungkan (d) tidak menggunakan bentuk negatif. Klasifikasi adalah pengelompokan barang yang sama danmemisahkan dari yang berbeda menurut spesiesnya. Ada dua cara dalam membuat klasifikasi yakni Pembagian (logical division) dan Pengolongan.
Telaahketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telahdisinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaanilmu yang diperoleh.
No
Pertanyaaan/jenis landasan
Landasan ontologism
Landasan epistemologi
Landasan aksiologi
1
Daftar pertanyaan berbasis landasan
Apa ?
Apa itu filsafat ?
Apa itu ilmu ?
Dan apa itu filsafat ilmu ?
Bagaimana ?
Bagaimana caranya berfilsafat ?
Bagaimana ilmu didapat ?
Dan bagaimana caranya mengkaji filsafat ilmu ?
untuk apa ?
untuk apa berfilsafat ?
untuk apa mencari ilmu dan untuk apa pula setelah mendapatkannya ?
apa kegunaan filsafat ilmu ?
                                                                                                 












[1]The Liang Gie.Pengantar Filsafat Ilmu, Cet VI (Yogyakarta : Liberty; 2004) hal 29
[2]Hatta,Alam Pikiran Yunani, (Jakarta : Tinta Mas; 1966) hal 3
[3] Langeveld,Menuju ke Pemikiran Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan; 1961 )hal 9
[4]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Cet I (Remaja Rosdakarya; Bandung 2004) hal 67
[5]Berfikir secara serius terhadap objek yang ditelitinya dan tidak mengenal tempat serta dilakukan dimana saja, akan tetapi semuanya itu (objek yang diteliti) bersifat abstrak rasional (hanya ada dalam angan-angan dan pengandaian serta kebenarannya belum dapat dipastikan atau dengan kata lain belum di-uji kebenaran pengetahuan tersebut) namun bersifat logis.
[6]Filsafat pengetahuan (epistemologi) adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung-jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimilki.
[7]Tujuan dari ber-filsafat adalah menemukan kebenaran yang sebenarnya (terdalam) terhadap objek yang ditelitinya.Salah satu misal jika yang dipikirkan politik maka jadilah filsafat politik, jika yang dipikirkan pengetahuan maka jadilah filsafat ilmu dan seterusnya.
[8]Dengan berpikir secara mendalam tentang sesuatu yang abstrak. Secara mendalam artinya ia (individu) hendak mengatahui bagian yang abstrak akan sesuatu itu, ia ingin mengetahui  sedalam-dalamnya (dikatakan mendalam disebabkan ia telah berhenti dan sampai pada taraf akhir yaitu tanda tanya dibenaknya) disitulah letak kedalaman apa yang dipikirkan, hingga akhirnya berbuah pengetahuan filsafat, sedangkan potensi yang digunakan-pun adalah akal, karena kerja akal pada umumnya yaitu berpikir dan berpikir
[9]Pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang logis dan hanya logis serta tidak empiris.Kebenaran teori filsafat ditentukan logis tidaknya suatu teori, hal ini terlihat dari argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) tersebut.
[10]Seperti yang didefinisikan oleh Mulder bahwa filsafat sebagai “pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan,” dalam artian pemikiran yang bersifat teoritis hanya pada individu yang memahaminya, teoritis itu merupakan kenyataan-kenyataan yang tersusun dan dihadapi oleh individu itu, sekaligus hal itu (teoritis) dijadikan metode untuk menggapai keseluruhan yang belum pernah terjamah, walaupun metode itu masih disangsikan kebenarannya.
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet1. (Raja Grafindo Persada ; Jakarta 2004) hal 12
[12]Pengetahuan yang tergambar di dalamnya merupakan pengetahuan yang bersifat “sains” dengan objek yang diteliti berdasarkan empiris serta cara memperolehnya dan potensi yang digunakan berdasarkan riset dan akal-indera hingga pada taraf akhirnya ukuran kebenaran dari pengetahuan sains ini adalah pengetahuan yang berdasarkan pada logis dan empiris (berbeda dengan pengetahuan filsafat) 
[13]Ciri utama ilmu adalah 1).Sebagian pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis dapat di ukur dan dapat dibuktikan. 2). Ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu kepada objek yang sama dan saling berkaitan secara logis. 3). Ilmu memuat didalamnya hypothesis-hiphotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.4.). Adanya metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya terbuka kepada semua pencari ilmu.
[14]Poespoprodjo merumuskan ilmu, sebagai kumpulan pengetahuan, hasil penyelidikan, pandangan yang logis teratur, kritis dan sistematis terhadap suatu obyek (Logika Scientifika Sebuah Pengantar Dialektika dan Ilmu. Cet-I Pustaka Grafika Bandung 1999) hal 28
[15]Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu Sebuah Kajian Atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, CetI.(Belukar : Yogyakarta 2004) hal 42-50
[16]Suatu masalah disebut sebagai masalah ilmiah, jika memenuhi persyaratan yaitu bahwa masalah itu merupakan masalah yang dihadapi dengan sikap dan metode ilmiah, masalah yang terus-menerus mencari solusi, masalah yang saling berhubungan dengan masalah dan solusi ilmiah lain secara sistematis. Untuk itu dia emenawarkan bahwa masalah yang dapat dikomunikasikan dan “capable” yang disuguhkan dengan sikap dan metode ilmiah sebagai ilmu pengatahuan awal atau “masalah ilmiah”
[17]Sikap ilmiah menurutBahm meliputi enam karakteristik pokok yaitu keingintahuan, spekulatif, kemauan untuk objektif, keterbukaan, kemauan untuk menangguhkan penilaian dan menunda keputusan dan kesementaraan
[18] Dia berpendapat bahwa metode ilmiah itu adalah satu dan sekaligus banyak, dikatakan satu karena metode ilmiah dalam penerapannya tidak masalah dan dikatakan banyak karena kenyataan jalannya adalah banyak, salah satu misal yaitu masing-masing ilmu mempunyai metode-metodenya sendir-sendiri, yang paling cocok dengan jenis masalahnya sendiri.
[19] Dia berpendapat bahwa ini merupakan “riset ilmiah” yang terdiri dari dua aspek yaitu aspek individu (ilmu pengetahuan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu) dan aspek sosial (aktifitas ilmiah mencakup lebih banyak dari apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan khusus).
[20] Dia berpendapat bahwa pengaruh utama terletak pada pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industri melalui apa yang disebut dengan ilmu terapan dan pengaruh ilmu terhadap-atau dalam-masyarakat dan peradaban.
[21] Dipresentasikan oleh DR Imron Arifin Ilham M.Pd  (Perkuliahan Filsafat Ilmu di IKAHA).
[22]Ibid, The Liang Gie, hal 59-60
[23] Tim Dosen Filsafat Ilmu (Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Cet-II Liberty Yogyakarta 2002) hal 14

Komentar

Postingan Populer