FIQH
ZAKAT PROFESI
A.
Pendahuluan
Diantara
rukun Islam, zakat adalah merupakan rukun Islam yang ketiga, dan sebagai rukun
yang penting setelah rukun shalat. Oleh karenanya sekian banyak ayat al-Quran
menggandengkan perintah shalat dengan perintah zakat, dan disebutkan sebanyak
delapan puluh dua kali[1]
dalam al-Quran dan juga dalam banyak Hadis Nabi. Institusi zakat merupakan hal
yang sangat penting. Kendati pelaksanaan penunaian zakat secara utuh baru
diberlakukan pada tahuntahun terakhir kehidupan Nabi, namun sejak Beliau
diutus, anjuran menyantuni kaum lemah menjadi perhatian al-Quran. Kita jumpai
dalam wahyu-wahyu yang turun pada periode Makkah, sekian banyak ayat yang
menyinggung pentingnya institusi zakat.[2]
Tetapi dari berbagai ayat al-Quran, tidak ada satupun yang menyebutkan secara
pasti harta atau penghasilan yang terkena kewajiban zakat atasnya, walaupun
penerima zakat dijelaskan secara rinci (QS. At- Taubah: 603). Mungkin dapat
ditafsirkan bahwa penerima hak harus jelas, namun sumber yang diperoleh dari
zakat dapat beragam sesuai dengan kondisi setempat dan perkembangan zaman. Tapi
sayang perkembangan ijtihad tentang hukum Islam, khususnya zakat ini tidak
sebanding dengan perkembangan dunia modern. Keanekaragaman harta wajib zakat
dalam realita kehidupan sepertinya tidak bergeser dari yang telah ditentukan
oleh ulama-ulama terdahulu dan bentukbentuk pelaksanaannya kurang dengan
perubahan zaman yang sangat pesat.
Zakat
yang merupakan simbol dari fiscal policy [3]dalam
Islam merupakan sarana pertumbuhan ekonomi sekaligus mekanisme yang bersifat built
in untuk tujuan pemerataan penghasilan dan kekayaan. Di samping ketentuan
zakat yang berupa prosentase dari nisab dan bukan jumlah uang tertentu, juga
menunjukkan betapa sistem ini tidak terpengaruh oleh laju inflasi karena secara
otomatis dapat mengikuti fluktuasi inflasi. Dari segi barang yang wajib
dikeluarkan zakatnya, selama ini masih banyak ulama yang hanya berpegang kepada
nas-nas hadis yang berkaitan dengan zakat nuqud, barang tambang, perdagangan,
tanaman dan buah-buahan serta binatang ternak. Sedang saham, obligasi dan
penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat,
seniman, dan lain-lainnya, khususnya
pegawai negeri sipil di Departemen Agama kurang mendapat perhatian. Bahkan
Abdur Rahman al-Juzairy, sebagai penghimpun Fiqh ala Mazhahib al-Arba’ah telah
menerangkan bahwa jenis harta yang wajib zakat ada lima macam sebagaimana
keterangan di atas.[4]
Kurangnya
perhatian dalam pelaksanaan zakat sebagai satu upaya penanggulangan kemiskinan
dan pemerataan kemakmuran di kalangan umat Islam, adalah karena: pertama, kurangnya
pengertian umat tentang hikmah kewajiban zakat sebagai rukun Islam yang
disamakan dengan shalat. Kedua, kurangnya pengertian umat tentang tata cara
pelaksanaannya sebagai usaha pemerataan kemakmuran yang dicontohkan melalui
lembaga amiliin yang digariskan Allah dalam al-Quran. Di sisi lain,
Islam memberi kebebasan kepada setiap individu Muslim memilih jenis
usaha/pekerjaan atau profesi yang sesuai dengan bakat, ketrampilan, kemampuan
atau keahliannya masing-masing, baik yang berat dan kasar yang memberikan
penghasilan kecil seperti tukang becak, maupun yang ringan dan halus yang
mendatangkan penghasilan besar seperti notaris, pengacara, lawyer, pegawai
negeri dan sebagainya. Yang penting penghasilan itu diperoleh secara sah dan
halal, bersih dari unsur pemerasan (eksploitasi), kecurangan, paksaan,
menggunakan kesempatan dalam kesempitan dan tidak membahayakan dirinya dan
masyarakat.Hanya saja kedua bentuk penghasilan itu apakah dapat digolongkan
kepada kekayaan penghasilan, yakni kekayaan yang diperoleh seorang muslim
melalui usaha baru yang sesuai dengan syariat agama ?
B.
Pembahasan
1. Pengertian Zakat Profesi
Sedangkan
profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” berarti
pekerjaan.[5]
Kata profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiaadalah bidang pekerjaan
yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan,
dsb) tertentu,[6] begitu
juga menurut Ensiklopedia Menejemen adalah suatu
jenis pekerjaan karena sifatnya menuntut pengetahuan yang tinggi,
khusus dan latihan yang istimewa yang termasuk ke dalam profesi, misalnya
pekerjaan dokter, ahli hukum, Akuntan, guru, arsitek, ahli astronomi dan
pekerjaan yang sesifat lainnya[7]. Jadi yang dimaksud dengan zakat profesi di sini ialah
pekerjaan atau keahlian profesional tertentu. Bila dikaitkan
dengan zakat, maka zakat profesi adalah zakat yang
dikenakan pada tiap-tiap pekerjan atau keahlian profesional
tertentu baik yang dilakukan sendirian maupun dilakukan
bersama dengan orang atau lembaga lain yang menghasilkan uang, gaji,
honorarium, upah bulanan yang menenuhi nishab, yang dalam istilah fiqih dikenal
dengan nama al-mal al-mustafad.[8]
Contohnya adalah penghasilan yang diperoleh oleh seorang dokter, insinyur,
advokat, seniman, dosen, perancang busana, penjahit, kontraktor pembangunan, lawyer,
hakim, pengacara, eksportir, akuntan, pelaku pasar modal, usaha entertaiment,
pembawa acara, pelawak, dan sebagainya.
2. Dasar Hukum Zakat Profesi
Zakat profesi
(penghasilan) sebagaimana tersebut di atas termaksud masalah ijtihadi,
yang perlu dikaji dengan seksama menurut pandangan hukum syari’ah dengan
memperhatikan hikmah zakat dan dalil-dalil syar’i yang terkait. Menurut Masfuk
Zuhdi, semua macam penghasilan tersebut terkena wajib zakat.[9]
hal itu berdasar firman Allah:
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, nafkhkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untu
kamu. ((QS. Al- Baqarah;267).
Imam al-Thabariy
mengatakan dalam menafsirkan ayat ini (al-Baqarah: 267) bahwa maksud ayat itu
adalah: “Zakatlah sebagian yang baik yang kalian peroleh dengan usaha kalian,
baik melalui perdagangan atau pertukangan, yang berupa emas dan perak”.[10]Sedang
menurut Imam al-Razi, ayat itu menunjukkan bahwa zakat wajib atas semua
kekayaan yang diperoleh dari usaha, termasuk ke dalamnya perdagangan, emas,
perak dan tembaga, oleh karena semuanya ini digolongkan hasil usaha.[11]
Ayat-ayat lain yang berlaku umum yang mewajibkan zakat ssemua jenis kekayaan,
misalnya firman Allah:
Artinya: Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang mendapat bagian.(QS.Adz- Dzariyyat:19).
Artinya : Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersikan dan
mensucikan mereka. (QS. at-Taubah: 103)
Menurut Ibnu
‘Arabi, firman Allah: “pungutlah zakat kekayaan mereka”, berlaku menyeluruh
atas semua kekayaan, dari berbagai jenis nama dan tujuannya. orang yang ingin
mengecualikan salah satu jenis, haruslah mampu mengemukakan satu landasan.
Apabila asas keadilan dan nilai sosial lebih dikedepankan untuk membayar zakat
yang dijadikan pertimbangan, dan pemahaman terhadap pengertian umum dari surat
al-Baqarah ayat 267 tersebut secara konstektual, maka semua jenis harta
kekayaan yang diperoleh melalui berbagai kegiatan dan usaha yang legal
dihasilkan manusia, tidaklah terasa berat mengeluarkan zakatnya, setelah
mecapai nisab dan haul.[12]
3. Pandangan Fuqaha dan Penetapan
Hukumnya
a. Pandangan Mazhab Empat
Para imam mazhab
tidak sependapat tentang wajibnya zakat penghasilan, sebagaimana berikut ini:
1)
Imam Syafi’i mengatakan harta
penghasilan itu tidak wajib zakat meskipun ia memiliki harta yang sudah cukup nisab.
Tetapi ia mengecualikan anak-anak binatang piaraan, di mana anak-anak binatang
itu tidak dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan zakat induknya yang sudah
mencapai nisab, dan bila belum mencapai nisab maka tidak wajib
zakatnya.[13] Dalam
kitab al-Umm, al-Syafi’i mengatakan apabila seseorang menyewakan
rumahnya kepada orang lain dengan harga 100 dinar selama 4 tahun dengan syarat
pembayarannya sampai waktu tertentu, maka apabila ia telah mencapai setahun, ia
harus mengeluarkan zakatnya 25 dinar pada satu tahun pertama, dan membayar
zakat untuk 50 dinar pada tahun kedua, dengan memperhitungkan uang 25 dinar
yang telah dikeluarkan zakatnya pada tahun pertama dan seterusnya, sampai ia
mengeluarkan zakatnya dari seratus dinar dengan memperhitungkan zakat yang telah
dikeluarkan baik sedikit atau banyak.[14]
2)
Imam Malik berpendapat bahwa
harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya kecuali sampai penuh waktu
setahun, baik harta tersebut sejenis dengan harta yang ia miliki atau tidak, kecuali
jenis binatang piaraan. Karena orang yang memperoleh penghasilan berupa
binatang piaraan bukan anaknya dan ia memiliki binatang piaraan yang sejenis
dan sudah mencapai nisab, maka ia harus mengeluarkan zakat dari
keseluruhan binatang itu apabila sudah genap satu tahun. Dan apabila kurang
dari satu nisab, maka tidak wajib zakat.[15]
Secara garis besar, ada sebuah kasus
tentang seseorang yang memiliki 5 dinar hasil dari sebuah transaksi, ataupun
dari cara lain, yang kemudian ia investasikan dalam perdagangan, maka begitu
jumlahnya meningkat pada jumlah yang harus dibayarkan zakat dan satu tahun
telah berlalu sejak transaksi pertama, Imam Malik berkata, ia harus membayar
zakat meskipun jumlah yang harus dizakatkan itu tercapai satu hari sebelum
ataupun sesudah satu tahun. Karena itu, tidak ada zakat yang harus dibayarkan sejak
hari zakat diambil (oleh pemerintah) sampai dengan waktu satu tahun telah
melewatinya.[16] Imam Malik berkata tentang kasus yang sama
dari seorang yang memiliki 10 dinar yang ia investasikan dalam perdagangan,
yang mencapai 20 sebelum satu tahun melewatinya, ia langsung membayar zakat dan
tidak menunggu sampai satu tahun telah melewatinya, (dihitung) sejak hari uang
tersebut mencapai jumlah yang harus dibayarkan zakatnya. Ini karena satu tahun
telah melewati jumlah dinar yang pertama (modal) dan sekarang ia sudah memiliki
20 dinar. Setelah itu, tidak ada zakat yang harus dibayarkan dari hari zakat
dibayar sampai satu tahun yang lain telah melewatinya.[17]
3)
Adapun Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa
setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis
yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk zakat harta penghasilan itu dikeluarkan
pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab. Dengan demikian
bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak, meski satu jam menjelang
waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya
itu bersamaan dengan pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas,
perak, binatang piaraan atau yang lainnya.[18]
Dari ketiga
pendapat imam mazhab terhadap harta penghasilan satu sama lain berbeda. Imam
Syafi’i tidak mewajibkan zakat walaupun telah memenuhi satu nisab dan mencapai
waktu setahun untuk mengeluarkan zakat harta penghasilan, demikian pula Imam
Malik tidak mewajibkan mengeluarkan zakat harta penghasilan setelah mencapai
masa setahun dengan syarat mencapai nisab. Adapun Imam Abu Hanifah
mempersyaratkan setahun penuh pemilikan harta penghasilan, kecuali apabila
harta tersebut sudah ada satu nisab, maka zakat harta penghasilan itu
harus dikeluarkan walaupun belum ada satu tahun, jadi dikeluarkan pada
permulaan tahun. Sedangkan dalam literatur tidak ditemukan pendapat Imam Hanbali
tentang masalah zakat profesi. Perbedaan pendapat di antara tiga imam mazhab
batas zakat harta peninggalan ini sempat mengundang kritik tajam dari Ibnu Hazm
yang menilai pendapat-pendapat di atas itu salah. Ia mengatakan bahwa salah
satu bukti pendapat-pendapat itu salah cukup
dengan melihat khilafiyah semua pendapat itu, semuanya hanya
dugaan-dugaan belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan yang
tidak ada landasan salah satupun dari semuanya. Baik dari al-Quran atau Hadits
shahih ataupun dari riwayat yang bercacat sekalipun, tidak perlu dari ijma’ dan
qiyas, dan tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima.[19]
Bila melihat
pendapat-pendapat di atas, maka harta penghasilan yang dicontohkan oleh ketiga
Imam Mazhab tersebut belum menyentuh penghasilan yang diperoleh dari jual jasa
seperti dokter, insiyur, advokat dan lain-lain, yang termasuk kategori profesi.
Yusuf al-Qardhawy mempertanyakan apakah berlaku pula ketentuan setahun penuh
bagi zakat “harta peninggalan” buat yang berkembang bukan dari kenyataan lain,
tetapi karena penyebab bebas seperti upah kerja, hasil profesi, investasi
modal, pemberian dan semacamnya.[20]
Karena belum
tersentuhnya harta penghasilan yang diperoleh dari jasa seperti penghasilan
pegawai, karyawan dan ahli profesi oleh imam-imam, maka ulama-ulama generasi
penerus sesudahnya yang tidak berani ijtihad, tetap mengatakan bahwa zakat
profesi hukumnya tidak wajib karena tidak ditentukan oleh imam-imam mereka.
Adapun ulama-ulama kontemporer sebagaimana yang akan dibahas, mereka setelah
berdiskusi dan menseminarkan zakat profesi, menetapkan wajibnya zakat profesi. Yang
berbeda di kalangan mereka adalah masalah besarnya zakat profesi akibat
perbedaan kepada zakat apakah zakat profesi diqiyaskan. Demikian pula perbedaan
yang menyangkut waktu mengeluarkan zakatnya, apakah harus menunggu satu tahun
atau tidak. Akibat persepsi dari dua golongan ulama-ulama fiqh itulah maka
zakat profesi belum diterima secara muttafaq’alaih. Itulah kenyataannya,
karena zakat profesi adalah masalah ijtihadiyah yang pasti menimbulkan perbedaan
pendapat
.
b. Pendapat Ulama-Ulama Muttakhir
1)
Dalam suatu seminar tentang zakat
yang telah diselenggarakan di Damaskus pada tahun 1952, para guru besar seperti
Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khallaf telah
berpendapat yang kesimpulannya sebagai berikut:
“Pencarian dan
profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab.
Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, AbuYusuf dan Muhammad bahwa nisab
tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh
antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan
bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil
pencarian setiap tahun, karena hasil itu harga terhenti sepanjang tahun bahkan
kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal ini, kita dapat
menetapkan hasil pencarian sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab),
yang menurut ulama-ulama fiqih sah, dan nisab, yang merupakan landasan
wajib zakat”.[21]
Menurut mereka,
bahwa kata hasil pencarian dan profesi serta pendapatan dari gaji atau yang
lain tidak ada persamaannya dalam fiqih selain apa yang dilaporkan tentang
pendapat Ahmad tentang sewa rumah. Tetapi sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu
disebutkan di sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada
kekayaan penghasilan, yaitu kekayaan yang diperoleh seorang muslim melalui
bentuk usaha baru yang sesuai dengan syari’at agama. Jadi pandangan fiqih
tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah “harta peninggalan”.
Selain pendapat
guru-guru besar sebagaimana di atas, ada pendapat lain yang lebih jelas dan
lebih mendasar merujuk kepada dua hal yaitu keumuman nash al-Quran surat
al-Baqarah ayat 267 dan qiyas. Pendapat di atas adalah pendapat Muhamamd al-Ghazali.
Beliau menyatakan bahwa siapa yang mempunyai pendapatan itu, tidak kurang dari
penghasilan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat
yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali keadaan
modal dan persyaratan-persyaratannya, berdasarkan hal ini, seorang dokter,
advokat insiyur, pengusaha, pekerja, karyawan. Pegawai dan sebangsanya, wajib
mengeluarkan zakat dari pendapatannya yang besar. Hal ini berdasarkan atas
dalil:
(a)
Keumuman nash al-Quran: “Hai
orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil yang kalian peroleh”.(al-Baqarah:
267).
(b)
Islam tidak memilik konsepsi
mewajibkan zakat atas petani yang memiliki 5 faddan (1 faddan =1/2
ha). Sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan 50 faddan
tidak mewajibkannya, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya
sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya yang
atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika mencapai nisab. [22]Jenis-jenis
pendapatan sebagai mana di atas yang menyangkut profesi pada umumnya lebih
besar daripada yang diperoleh oleh seorang petani, bahkan kadang kala sampai
berlipat 5- 10 kali. Oleh karenanya penghasilan profesi tidak perlu diragukan
lagi untuk wajib dikeluarkan zakatnya.
Untuk
itu, harus ukuran wajib zakat atas semua hasil profesi tersebut, dan selama illat
dari hal memungkinkan diambil hukum qiyas, maka tidak benar untuk tidak
memberlakukan qiyas tersebut dan tidak menerima hasilnya.
2)
Pandangan Yusuf Al-Qardhawy PandanganYusuf
al-Qardhawy ditulis secara terpisah, tidak dimasukkan dalam sub bab pandangan
fuqaha, tiada lain adalah karena beliau mempunyai gaya tersendiri dalam
membahas zakat hasil pencarian dan profesi. Dalam pembahasan yang panjang
beliau mempergunakan metode-metode:
Pertama, muqaranah,
memperbandingkan pendapat-pendapat yang masyhur baik dari para sahabat,
tabi’in, ulama-ulama mazhab bahkan ulama-ulama masa kini. Kedua, pengujian
dan seleksi, diteliti nash-nash yang berhubungan dangan status zakat dalam
beracam-macam kekayaan. Ketiga, berpegang pada prinsip bahwa dalil
(nash) berlaku umum selama tidak ada petunjuk bahwa dalil itu berlaku khusus. Keempat,
memperhatikan hikmah dan tujuan pembuat syari’at mewajibkan zakat. Setelah
memperbandingkan pendapat-pendapat tentang zakat profesi dengan alasan
masing-masing dan meneliti nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam
berbagai macam kekayaan serta memperhatikan hikmah dan maksud tujuan disyari’atkannya
wajib zakat dan kebulatan umat Islam pada masa sekarang, maka beliau
berpendapat bahwa harta hasil usaha seperti gaji pegawai, upah karyawan,
pendapatan dokter, insiyur, advokat dan yang lain mengerjakan profesi tertentu
dan juga seperti pendapatan yang diperoleh modal yang diinvestasikan di luar
sektor perdagangan seperti mobil, kapal, pesawat terbang, percetakan,
tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya, tidak disyaratkan dalam mengeluarkan wajib
zakat harus menunggu satu tahun pemilikan, akan tetapi harus dikeluarkan
zakatnya pada waktu menerimanya.
Dalam menentukan wajib zakat hasil
profesi tidak menunggu satu tahun, Yusuf al-Qardhawy memberikan beberapa alasan
yang antara lain:
(a)
Bahwasannya berdasarkan ketetapan
para ulama hadits persyaratan satu tahun (haul) dalam seluruh harta
termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau
hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara’ yang berlaku umum
bagi umat
(b)
Walaupun ada perbedaan antara
sahabat dan tabi’in dalam masalah haul tetapi perbedaan mereka itu tidak
berarti bahwa salah satu lebih baik dari pada yang lain, oleh karena itu maka
persoalannya dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaidah-kaidah yang lebih
umum, misalnya firman Allah: “Bila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan kepada Rasul (hadits)”.(QS.an-Nisa’
: 59).
(c)
Para Ulama yang tidak
mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih
dekat kepada nash yang berlaku umum daripada mereka yang mempersyaratkannya, karena
nash-nash yang mewajibkan zakat baik al-Quran maupun dalam sunnah datang secara
umum dan tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun. Misalnya “Berikanlah
seperempat puluh harta benda kalian”,. Harta tunai mengandung kewajiban seperempat
puluh, dan diikutkan oleh keturunan, firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman,
keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian”,(Al-Baqarah: 167). Kata ma
kasabtum merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan,
atau pekerjaan dan profesi.
(d)
Di samping nash yang berlaku umum
dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan
satu tahun sebagai syarat harta penghasilan wajib zakat, qiyas yang benar juga
mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang
muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada
waktu panen.[23]
Dari sekian banyak alasan yang
dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawy dalam memilih pendapat yang membuat beliau
lebih kuat tentang zakat profesi pada waktu diterima tanpa menunggu setahun adalah
sangat menekankan pada:
(a)
Surat al-Baqarah ayat 267 yang
bersifat umum dan hadits-hadits yang bersifat umum pula, baik keumumannya
menyangkut materi hasil usaha, apakah yang diperoleh dari perdagangan, investasi
modal, honorarium, gaji dan lain-lainnya, atau keumumannya dari segi waktu yang
tidak membatasi harus sudah satu tahun pemilikan harta.
(b)
Menggunakan dalil qiyas (analogical
reasoning). Sudah tentu menggunakan dalil qiyas sebagai dalil dalil syar’i
harus memenuhi syarat rukunnya, agar dapat menemukan hukum ijtihadi yang akurat
dan proporsional. Dalam pemakaian qiyas, adanya persamaan illat hukum
(alasan yang menyebabkan adanya hukum) harus benar-benar ada, baik pada pokok
yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan al-Quran dan atau hadits, maupun
pada masalah cabang yang mau dicari hukumnya, sebab illat hukum itu
merupakan landasan qiyas. Dalam masalah ini, yaitu wajibnya zakat hasil usaha
atau sejenisnya pada saat diterima (tanpa menunggu setahun) diqiyaskan dengan
kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen, karena kedua-duannya
adalah sama-sama rizki dan nikmat dari Allah, apalagi kedua-duanya tercantum
dalam satu ayat yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dariapa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”, (al55 Baqarah : 267). Mengapa harus
dibedakan dua masalah yang diatur oleh Allah dalam satu aturan (ayat) ?
maksudnya kalau zakat pertanian atau tanaman dan buah-buahan dikeluarkan pada waktu
panen, mengapa zakat harta penghasilan tidak dikeluarkan ketika ia terima,
tetapi harus menunggu setahun ? Perbedaan dari keduanya cukup pada besar zakat
yang harus dikeluarkan. Dari hasil tanah zakatnya ditentukan oleh pembuat
syari’at sebesar 5 % atau 10 %, sedangkan pada harta penghasilan berupa uang
atau yang lain zakatnya seperempat puluh. Di sini rupa-rupanya Yusuf al-Qardhawy
kurang konsisten dalam menentukan besar zakat profesi setelah menganalogikan
dengan zakat tanaman dan buah-buahan. Kalau zakat profesi diqiyaskan dengan
zakat tanaman, artinya tidak membutuhkan masa satu tahun (haul) mengapa besar
zakatnya disamakan dengan zakat uang ? Tidak disamakan dengan zakat tanaman ?
Dalam Kenyataan para petani mengeluarkan zakat panennya 5 % atau 10 % adalah
sama dengan mengeluarkan 5 atau 10 persen dari uang hasil panen. Sebab pada
zaman sekarang ini tidak ada petani yang menimbun hasil panennya untuk dimakan
sepanjang waktu, karena semua penghasilan adalah diungkapkan untuk mempermudah
memenuhi segala kebutuhan hidup.
(c)
Penanaman nilai-nilai kebaikan,
kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seseorang muslim.
Karena membebaskan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang ini dari
sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti membuat
orang-orang hanya bekerja, berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus
mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang
tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan berusaha. Alasan beliau yang seperti
ini tepatnya untuk orangorang yang suka hidup berfoya-foya dan berminat untuk menghindarkan
diri dari kewajiban zakat. bagi mereka yang hidup hemat dan takut ancaman Allah
barang kali tidak akan serendah ini.
4. Perbedaan Pendapat Para Fuqaha Tentang
Nisab, dan Prosentase Zakat Profesi
Pembahasan
tentang rukun dan syarat zakat profesi di sini stressingnya adalah pada
kajian nisab, haul dan besar atau prosentase zakat yang dikeluarkan.
a. Nisab Zakat Profesi
Harta penghasilan harus dikeluarkan
zakatnya apabila sudah mencapai nisab. Nisab adalah ukuran yang
telah ditentukan oleh Syari’ sebagai tanda atas wajibnya zakat.[24]atau
dengan kata lain, nisab adalah batas minimal suatu penghasilan atau
pendapatan yang harus dizakati. Nisab ini adalah sebagai batas untuk menetapkan
siapa yang tergolong orang kaya yang wajib zakat, karena zakat hanya dipungut
dari orang-orang kaya. Dalam suatu hadits di mana Rasulullah saw mengutus Muadz
ke Yaman, beliau berpesan:
Artinya : ….Sesungguhnya Allah
mewajibkan kepada mereka (pendudukYaman) zakat pada harta mereka yang diambil
dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.[25]
Al-Syaukani
menjelaskan perbedaan pendapat di kalangan para imam Mazhab tentang orang kaya.
Menurut golongan Hadawiyah dan Hanafiyah, orang yang dianggap kaya adalah orang
yang mempunyai harta mencapai nisab (85 gram emas), atau yang senilai dengannya
sehingga haram baginya mengambil zakat dengan alasan hadits saw: “Tidak halal
menerima atau mengambil zakat bagi orang yang kaya, demikian pula orang yang
kuat dan mampu bekerja”. Ulama lain mengatakan, orang kaya adalah orang yang
mampu makan di siang dan malam hari, dengan alasan hadits riwayat Abu Dawud dan
Ibn Hibban dari Sahal ibn Handhalah bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Barang
siapa meminta-minta, padahal ia mempunyai harta yang cukup, maka ia
memperbanyak api neraka pada dirinya. Para sahabat bertanya: “Berapa harta yng dianggap
cukup ini ?, Rasulullah menjawab: “kadar yang bisa dimakan di siang dan malam
hari.[26]
Menurut al-Tsaury,
Ibn al-Mubarak, Ahmad, Ishaq dan sekelompok pakar ilmu, orang kaya adalah orang
yang mempunyai lima puluh dirham atau yang senilai dengannya. Orang tersebut
tidak boleh mengambil atau menerima zakat. Hal ini berbeda dengan pendapat
al-Syafi’i dan sekelompok ulama lain, di mana mereka mengatakan: “apabila
seseorang mempunyai uang lima puluh dirham atau senilainya, akan tetapi ia
masih belum cukup, maka ia boleh mengambil zakat”. Diriwayatkan dari Syafi’i,
bahwa seseorang terkadang sudah dianggap kaya (merasa cukup) dengan uang satu dirham
dan punya mata pencaharian. Tetapi sebaliknya orang yang mempunyai uang seribu
dirham dengan keluarga yang banyak serta tidak mempunyai pencaharian maka ia
bukan termasuk orang yang kaya atau tercukupi kebutuhannya.[27]
Hadits-hadits tentang kreteria orang kaya sebagaimana di atas adalah berkaitan
dengan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, ukuran kaya
tidaknya seseorang adalah relatif, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
al-Syafi’i. Oleh sebab itu nisab harus ada ukuran yang pasti, yakni 85
gram emas sebagaimana hadits-hadits yang menjelaskan zakat nuqud. Dari
berbagai pendapat para fuqaha di atas penulis sangat condong dengan pendapat
golongan fuqaha yang mengatakan orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat
adalah orang yang kaya yang mempunyai harta mencapai nisab, yaitu 85
gram emas. Dalam masalah nisab zakat profesi, maka ada dua pendapat.
Pertama, penghasilan satu
tahun senilai 85 gram emas, lalu dikeluarkan zakatnya setahun sekali sebanyak
2,5 %. Kedua, dianalogikan pada zakat tanaman sebanyak 653 kg (misalnya
padi), dikeluarkan setiap menerima penghasilan atau gaji sebanyak 5 % atau 10
%. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Islam wa
al-audza’ al-Iqtishadiya, seperti dikutip oleh Yusuf al-Qardhawy.[28]
Pendapat di atas
adalah pendapat yang sesuai dengan penulis. Tetapi barang kali pembuat syari’at
mempunyai maksud tertentu dalam menentukan nisab tanaman kecil, karena
tanaman merupakan penentu kehidupan manusia. Yang paling penting dari besar nisab
tersebut adalah bahwa nisab uang diukur dari nisab tersebut
yang telah ditetapkan sebesar nilai 85 gram emas. Besar itu sama dengan 20 misqad
hasil pertanian yang disebutkan oleh banyak hadits. Banyak orang yang
memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling baik adalah
menetapkan nisab gaji itu berdasarkan uang. Bila menetapkan nisab zakat
profesi berdasarkan nisab uang, maka kita menetapkan pula bahwa zakat
tersebut hanya diambil dari pendapatan bersih setelah dipotong kebutuhan pokok
yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang harus dipenuhi
seperti sandang, pangan, papan, kendaraan dan alat kerja, oleh karenanya
kesemuanya itu tidak wajib dizakati.[29]
Atau dengan kata lain, “pendapatan bersih” yang wajib dizakati adalah total penerimaan
dari semua jenis penghasilan (gaji tetap, tunjangan, bonus tahunan, honorarium
dan sebagainya) dalam jangka waktu satu tahun (atau 12 bulan) setelah dikurangi
dengan hutang-hutang (termasuk cicilan rumah yang jatuh tempo sepanjang tahun
tersebut) serta biaya hidup seseorang bersama keluarganya secara layak (yakni
kehidupan orang-orang kebanyakan di setiap negeri, bukan yang amat kaya dan bukan
pula yang amat miskin. Berdasarkan hal itu maka sisa gaji dan pendapatan setahun
wajib zakat bila mencapai nisab uang, sedangkan gaji dan upah setahun
yang tidak mencapai nisab uang, setelah biayabiaya di atas dikeluarkan,
misalnya gaji pekerja-pekerja dan pegawaipegawai kecil, tidak wajib zakat.
b. Prosentase Zakat Profesi yang
harus dikeluarkan.
Pembahasan zakat profesi sebagaimana
diuraikan di atas, pada hakekatnya tidak dijumpai dalam literatur-literatur
lama, mungkin karena jarangnya upah atau gaji karyawan yang mencapai nisab seperti
nisab emas, hewan ternak, pertanian dan sebagainya. Namun di masa kini,
penghasilan bulanan para karyawan di perusahaan-perusahaan besar, atau para
profesional di bidang teknik, administrasi, kedokteran dan sebagainya,
seringkali mencapai jumlah amat besar, jauh melampui nisab harta-harta
lain yang wajib dizakati.
Artinya : Dari Malik dari Ibnu Syihab ia
berkata, Orang pertama yang mengambil zakat dari pemberian (upah gaji) adalah Mu’awiyah
bin Abi Sufyan. Ibn Abd al-Barr menjelaskan bahwa pemotongan upah atau gaji itu
adalah secara langsung, bukan sebagai zakat dari harta yang sudah memasuki satu
tahun. Ia berkata bahwa hadits pemotongan gaji secara langsung ini adalah syadz
(menyimpang dari kaidah atau aturan) yang tidak dipercaya oleh para ulama
bahkan tidak ada seorang pun dari orang-orang ahli fatwa mengatakannya.[30]
Oleh karena itu masalah besar zakat profesi tetap bersifat ijtihadi yang
menjadi garapan para atau fuqah atau ulama kontemporer dapat digolongkan paling
sedikit tiga pendapat mengenai hal ini.
1)
Syaikh Muhammad al-Ghazali
menganalogikan zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, baik dalam nisab maupun
besarnya zakat yang wajib dikeluarkannya. Besar zakatnya adalah 10 % atau 5 %
dari hasil yang diterima tanpa terlebih dahulu dipotong kebutuhan pokok, sama
dengan petani ketika mengeluarkan zakat hasil panennya. Perbedaan mengeluarkan
zakat 10 % atau 5 % karena perbedaan biaya menggunakan alat-alat mekanik atau tidak
menggunakannya.
2)
Mazhab Imamiyah (atau Mazhab
Ahlil Bait) berpendapat bahwa zakat profesi itu 20 % dari hasil pendapatan bersih,
sama seperti dalam laba perdagangan serta setiap hasil pendapatan lainnya, berdasarkan
pemahaman mereka terhadap firman Allah SWT., dalam surat al-Anfal : 41, tentang
ghanimah.
3)
Yusuf al-Qardhawy dalam
mempertimbangkan untuk menguatkan pendapatnya, bahwa besarnya zakat profesi
disamakan dengan uang atau perdagangan, yaitu 2,5 % dari hasil perdapatan;
beliau berkata: “benar, bahwa nikmat Allah dalam hasil tanaman dan buah-buahan
lebih jelas dan mensyukurinya lebih wajib, namun demikian tidak berarti bahwa
salah satu pendapatan tersebut tegas wajib zakat sedangkan yang satu lagi
tidak. Perbedaannya cukup dengan bahwa pembuat syari’at mewajibkan zakat hasil tanah
sebesar sepersepuluh atau seperdua puluh sedangkan pada harta penghasilan
berupa uang atau yang senilai dengan uang, sebanyak seperempat puluh.
Demikian
perbedaan para fuqaha dalam menentukan besarnya zakat profesi yang harus
dikeluarkan, sebagai kewajiban umat manusia dalam mengabdi kepada Allah dan
sekaligus untuk mensucikan harta benda yang mereka memiliki. Namun menurut
ketentuan Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999, zakat profesi ditetapkan 2,5 %.
C. Kesimpulan
1.
Imam Syafi’i
tidak mewajibkan zakat walaupun telah memenuhi satu nisab dan mencapai
waktu setahun untuk mengeluarkan zakat harta penghasilan, demikian pula Imam
Malik tidak mewajibkan mengeluarkan zakat harta penghasilan setelah mencapai
masa setahun dengan syarat mencapai nisab. Adapun Imam Abu Hanifah
mempersyaratkan setahun penuh pemilikan harta penghasilan, kecuali apabila
harta tersebut sudah ada satu nisab, maka zakat harta penghasilan itu
harus dikeluarkan walaupun belum ada satu tahun, jadi dikeluarkan pada
permulaan tahun.
2.
“Pencarian dan profesi dapat diambil zakatnya
bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada
pendapat Abu Hanifah, AbuYusuf dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu
harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung
tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan
penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil pencarian
setiap tahun, karena hasil itu harga terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan
mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal ini, kita dapat
menetapkan hasil pencarian sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab),
yang menurut ulama-ulama fiqih sah, dan nisab, yang merupakan landasan
wajib zakat”
3.
Besarnya zakat
profesi Pertama, penghasilan satu tahun senilai 85 gram emas, lalu
dikeluarkan zakatnya setahun sekali sebanyak 2,5 %. Kedua, dianalogikan
pada zakat tanaman sebanyak 653 kg (misalnya padi), dikeluarkan setiap menerima
penghasilan atau gaji sebanyak 5 % atau 10 %. Pendapat ini dikemukakan oleh
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Islam wa al-audza’ al-Iqtishadiya, seperti
dikutip oleh Yusuf al-Qardhawy
[1] Yusuf al-Qardhawy, Fiqh
al-Zakat I, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1991, hlm. 42. Dalam catatan
kakinya, ia menerangkan bahwa jumlah sebanyak itu sudah diralat oleh Ibnu
Abidin dalam bukunya Rad al-Muhtar, menjadi 32 kali. Tetapi yang benar dan
selalu dihubungkan dengan shalat hanya terdapat pada 28 tempat, demikianlah
penjelasan Yusuf al-Qardhawy.
[2] Lihat A. Rahman I. Doi, Syari’ah
the Islamic Law, terj. Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman, Jakarta : Raja
Grafindo Persada , 2002, hlm. 495, yang menyebutkan sebagai salah satu rukun
Islam yang ketiga, ada beberapa ayat al-Quran yang berbicara tentang zakat,
antara lain: al- Baqarah (2) : 43, al-Fushilat (41) : 7, al-‘Araf (7) : 156,
dan al-Rum (30): 39.
[3] Bahkan menurut Muhammad Quthub
dari sudut pandang finansial, zakat adalah pajak teratur yang pertama yang
pernah diberlakukan di dunia ini, sebelum itu pajak dibebankan berdasarkan
keinginan penguasa. Lihat dalam Islam the Misunderstood Religion, terj.
Fungky Kusnaedi Timur dalam Islam Agama Pembebas, Yogjakarta : Mitra
Pustaka, 2000, hlm. 187.
[4] Abdur Rahman al-Juzairy, Kitab
al-Fiqh ‘ala al-Mazhahibi al-Arba’ah I, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hlm.563.
[5] John M. Echols
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (An-English-Indonesian
Dictionary), Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 449.
[6] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997,
hlm. 789.
[7] Komaruddin, Ensiklopedia
Menejemen, Ed. II., Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hlm. 712.
[8] Yusuf al-Qardhawy, Op.Cit,
hlm. 460.
[9] Masfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, Jakarta; Haji Masagung, 1991,hlm. 214
[10] Yusuf Qardhawy, Op.Cit., 300.
[11] Ibid., hlm.301.
[12] Ibid
[13] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Jilid
4, Beirut: Dar al-Kutub al-Umiyah, tt., hlm. 196.
[14] Muhammad Idris Al-Syafi’i, Al-Umm,
Juz II, TK: Dar al-Fikr, tt., hlm. 66.
[15] Ibnu Hazm, Op. Cit., hlm.
196.
[16] Al-Zarqany, Syarh
al-Zarqany ala Muwatta’al-Imam Maliki, juz II, Tk: Dar al-Fikr,tt., hlm.
98-99.
[17] Ibid.
[18] Ibnu Hazm, Op.
Cit., hlm 196.
[19] Ibid
[20] Yusuf al-Qardhawy, Op. Cit., hlm.
491.
[21] Ibid
[22] Ibid hlm. 511
[23] Ibid., hlm. 505-507
[24] Abdurrahman
al-Juzairi, Kitab al-Fiqh ala al-Mazhabib al-Arbaah, jilid I, Beirut:
Dar al-Fikr,tt., hlm. 561.
[25] Al-Bukhary , Shahih Bukhary, juz
II, Semarang: Toha Putra, tt., hlm.108.
[26] Al-Syaukany, Nail al-AutharIV,
Beirut: Dar al-Fikr,1994, hlm.212
[27] Ibid
[28] Yusuf Qardhawy, op. cit., hlm.
482-483.
[29] Abdurrahman al-Juzairi, Op.
Cit., hlm. 563
[30] Al-Zarqany, Syarah al-Zarqany
II, Tk: Dar al-Fikr, tt., hlm. 97.
Komentar